Nabi Muhammad SAW
dalam suatu kesempatan pernah bersabda, ''Siapa saja yang mendatangi `arraf
(tukang tenung, dukun, peramal, dan lain-lain) dan menanyakan sesuatu kepadanya,
tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.'' (HR
Muslim).
Penggunaan sebutan 'orang pintar' bagi orang-orang yang dianggap bisa mengetahui kejadian yang telah lewat, bisa menunjukkan atau menemukan barang hilang, bisa memberitahukan hal yang gaib, meramal nasib seseorang, dan mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang diduga merupakan terjemahan dari kata bahasa Arab, `arraf. 'Arraf merupakan turunan kata `arafa - ya`rifu yang secara kebahasaan berarti mengetahui sesuatu.
Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Jami` al-Farid mengatakan, 'arraf sinonim dengan kahin dan munajjim, sehingga baginya tidak ada perbedaan arti di antara tiga sebutan itu. Dalam bahasa Indonesia, untuk ketiga kata itu sama-sama disebut 'orang pintar'. Dengan demikian, sebutan itu sudah tereduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi identik dengan kata yang berlawanan dengan orang bodoh.
Berkaitan dengan `arraf, kahin, dan munajjim itu, Rasulullah SAW dalam beberapa sabdanya, termasuk hadis di atas, mengingatkan umatnya agar tidak mempercayai apa yang dikatakan 'orang pintar', karena bisa menggiring seseorang kepada kekafiran.
Hadis-hadis terkait dengan hal itu, antara lain, ''Siapa saja yang mendatangi tukang tenung dan mempercayai ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW,'' (HR Abu Daud) dan ''Siapa saja yang mendatangi tukang tenung ('arraf dan kahin) dan mempercayai ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.'' (HR Ahmad, Masa'i, Tirmidzi, dan Ibn Majah).
Juga, ''Bukan dari golongan kami, orang yang menentukan nasib sial dan untung berdasarkan tanda-tanda benda, burung, dan lain-lain yang bertanya dan yang menyampaikannya, atau yang bertanya kepada tukang tenung atau yang mendukuninya atau yang menyihir atau yang meminta sihir untuknya. Siapa saja yang mendatangi tukang tenung (kahin) dan membenarkan ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.'' (HR Al-Bazzar).
Hadis-hadis tersebut secara tegas melarang umat Islam mendatangi seorang `arraf, kahin, dan munajjim dan menanyakan sesuatu serta mempercayai apa yang diucapkannya. Jika hal itu dilakukan, Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadis-hadis tadi, memastikan bahwa yang bersangkutan telah kafir (ingkar) terhadap apa yang diwahyukan Allah kepada beliau.
Karena itu, untuk membentengi diri dari perbuatan yang bisa membawa kepada kekafiran tersebut, hendaklah setiap kita menghayati janji kita di awal shalat, ''Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku semata hanya untuk Allah Tuhan alam semesta'' (QS 6: 162), ''Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah'' (QS 6: 163). Wallahu a'lam.
Penggunaan sebutan 'orang pintar' bagi orang-orang yang dianggap bisa mengetahui kejadian yang telah lewat, bisa menunjukkan atau menemukan barang hilang, bisa memberitahukan hal yang gaib, meramal nasib seseorang, dan mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang diduga merupakan terjemahan dari kata bahasa Arab, `arraf. 'Arraf merupakan turunan kata `arafa - ya`rifu yang secara kebahasaan berarti mengetahui sesuatu.
Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Jami` al-Farid mengatakan, 'arraf sinonim dengan kahin dan munajjim, sehingga baginya tidak ada perbedaan arti di antara tiga sebutan itu. Dalam bahasa Indonesia, untuk ketiga kata itu sama-sama disebut 'orang pintar'. Dengan demikian, sebutan itu sudah tereduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi identik dengan kata yang berlawanan dengan orang bodoh.
Berkaitan dengan `arraf, kahin, dan munajjim itu, Rasulullah SAW dalam beberapa sabdanya, termasuk hadis di atas, mengingatkan umatnya agar tidak mempercayai apa yang dikatakan 'orang pintar', karena bisa menggiring seseorang kepada kekafiran.
Hadis-hadis terkait dengan hal itu, antara lain, ''Siapa saja yang mendatangi tukang tenung dan mempercayai ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW,'' (HR Abu Daud) dan ''Siapa saja yang mendatangi tukang tenung ('arraf dan kahin) dan mempercayai ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.'' (HR Ahmad, Masa'i, Tirmidzi, dan Ibn Majah).
Juga, ''Bukan dari golongan kami, orang yang menentukan nasib sial dan untung berdasarkan tanda-tanda benda, burung, dan lain-lain yang bertanya dan yang menyampaikannya, atau yang bertanya kepada tukang tenung atau yang mendukuninya atau yang menyihir atau yang meminta sihir untuknya. Siapa saja yang mendatangi tukang tenung (kahin) dan membenarkan ucapannya, sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.'' (HR Al-Bazzar).
Hadis-hadis tersebut secara tegas melarang umat Islam mendatangi seorang `arraf, kahin, dan munajjim dan menanyakan sesuatu serta mempercayai apa yang diucapkannya. Jika hal itu dilakukan, Nabi Muhammad SAW, berdasarkan hadis-hadis tadi, memastikan bahwa yang bersangkutan telah kafir (ingkar) terhadap apa yang diwahyukan Allah kepada beliau.
Karena itu, untuk membentengi diri dari perbuatan yang bisa membawa kepada kekafiran tersebut, hendaklah setiap kita menghayati janji kita di awal shalat, ''Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku semata hanya untuk Allah Tuhan alam semesta'' (QS 6: 162), ''Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah'' (QS 6: 163). Wallahu a'lam.